Laman

In The Name of Allah

In The Name of Allah

Jumat, 26 Agustus 2011

Menggapai Merpati


Menggapai Merpati
Kring.... handphoneku berbunyi. Kubaca layarnya, 1 pesan diterima. Kulihat nama pengirimnya, ternyata pesan dari orang yang tak asing bagiku. Panggilan dakwah, begitu ku menyebutnya ketika mendapat sms dari beliau. Ternyata benar, sebuah panggilan dakwah. Lekas ku baca, kucermati betul hari dan tanggal kapan aku harus berangkat. Huffft, kenapa harus bersamaan dengan jadwal ujian mata kuliah kewirausahaan (NBC)*, padahal aku harus menjadi panitianya. Aku paling tak suka jika ada dua atau beberapa agenda penting yang dilaksanakan berbenturan. Namun sudahlah, ini semua sudah ada yang mengatur. Allah pasti mempunyai rencana yang terbaik dibalik ini semua. Segera ku telepon nomor tadi untuk meminta perizinan dan untuk memastikan bahwa aku diizinkan tidak mengikuti separuh agenda karena aku harus menyelesaikan tugas kepanitiaanku dalam rangka ujian mata kuliah kewirausahaan. Alhamdulillah diizinkan.
Usai menyelesaikan tugas-tugasku, segeralah kutunaikan panggilan dakwah itu. Sabtu, pukul 6 pagi. Udara masih begitu sejuk, embun masih terlihat begitu segarnya. Kutekadkan berangkat menuju stasiun UI. Aku tak berpikir panjang, akan naik apa aku untuk menuju ke stasiun, menggunakan kendaraan umum yang mana, akan berhenti di mana. Aku masih terlalu buta pada arah. Dari pada aku bingung dan tersesat, lebih baik ku tunda saja kepergianku hingga pukul 7 di mana bus kuning sudah mulai beroperasi. Sembari ku cek lagi bekal-bekalku, siapa tahu ada yang belum terbawa. Ternyata benar. Beras. Aku lupa membawa beras. Membeli di mana ya ? Disini tak ada penjual beras terdekat, nekat saja aku membeli beras milik tetangga kamarku. Alhamdulillah diperbolehkan.
Sudah pukul 7. Aku segera menuju halte bus depan asrama. Sampailah aku di stasiun UI di antar oleh bus kuning kebanggaan. Ku beli tiket kereta jurusan Bogor di loket stasiun UI, cukup mengantri. “Ke Bogor, satu Mba” kataku pada penjaga loket. “Silahkan, keretanya akan segera berangkat”. Ternyata keretanya sudah berhenti sedari tadi. Aku buru-buru membayar tiketnya, lalu kusegerakan berlari, mudah-mudahan masih kesampaian. “Terimakasih, Mba” ucapku dengan tergesa pada sang penjaga loket. Ohh tidak, ternyata langkah kakiku kurang cepat. Kereta itu tak kugapai. Dengan tampang memelas, aku mendatangi satpam yang biasa memeriksa tiket perjalanan.
“Pak, kereta jurusan Bogor datang lagi jam berapa ?”,
“Sekitar lima belas menit lagi Mba, yang ber-AC”
“Tiketnya boleh ditukar, Pak” karena aku membeli tiket non-AC
“Boleh, silahkan menuju loket Mba”
“Terimakasih, Pak”
Aku menukarkan tiketnya dan menuju tempat tunggu. Tak lama kemudian kereta datang. Untuk memastikan, aku menanyakan dulu kepada salah satu penumpang di kereta bahwa kereta ini akan mengantarkanku ke kota Bogor. Dengan jawaban yang sangat ketus, “Iya lah Mba, semua kereta yang menuju ke arah sana pasti berhenti di Bogor”. Biarlah meski jawabannya ketus begitu, yang penting bisa meyakinkanku bahwa kereta ini akan mengantarkanku menggapai sang Merpati. Maklum aku belum pernah bepergian sendiri, apalagi menuju tempat yang belum pernah kusinggahi. Pastilah sudah bisa ditebak bagaimana tampang “bolang”* ku.
Cukup lama perjalanan Depok-Bogor, kurang lebih satu jam. Kumanfaatkan saja untuk bergelut dengan bacaanku. Saking asyiknya, tidak terasa kereta sudah berhenti. Aku telah sampai di tanah Bogor. Ada perasaan bangga tersendiri menghirup sejuknya udara di sini. Jarang kudapati udara sesejuk ini di kota metropolitan. Segera kulayangkan pesan singkat untuk meminta petunjuk jalan kepada nomor yang kemarin mengirimiku pesan panggilan dakwah. Kupahami arahan-arahannya. Dan naiklah aku ke angkot pertama. Ku cermati jalanan di sekelilingku. Sepertinya aku sudah pernah melewati jalan ini. Kapan ya ?. Nah, aku ingat sekarang. Aku pernah diajak ayahku untuk mengikuti studytour siswa-siswinya ke Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor. Pantas saja, aku tak asing dengan jalan ini. Aku menjadi semakin percaya diri bahwa aku tidak akan tersesat di sini. Sampailah angkotnya pada tempat pemberhentian.
Aku segera berganti angkot untuk melaksanakan perjalanan selanjutnya. Lama sekali perjalanannya hampir memakan waktu 2 jam karena terhalang macet. Ya sudahlah tak apa, selagi aku selamat kunikmati saja perjalanan ini Lillahi ta’ala. Di tengah perjalanan aku baru teringat kalau aku harus berhenti di depan hotel *****. Wah, jangan-jangan sudah terlewat. Langsung saja kutanya kepada bapak sopir angkotnya.
“Pak, hotel ***** sudah lewat belum ya ?”
“Udah Teh, Tetehnya ga bilang dari tadi kalau mau ke hotel *****, ya sudah ikut saya dulu saja, nanti saya carikan kendaraan untuk putar balik” dengan logat kental sundanya. Alhamdulillah Bapak itu masih baik hati sehingga aku tidak diturunkan di pinggir jalan.
“Iya Pak, saya kelupaan, terimakasih ya Pak” begitu malunya diriku. Huhuhu.
Aku segera naik kendaraan untuk berbalik arah. Dan sampailah aku di depan hotel *****. Dari sini kutelusuri arah selanjutnya, ditemani hujan yang cukup deras serta jalanan yang begitu sepi. Aku berjalan bersama payung hijauku, ya, berdua saja. Berharap ada wanita yang mengendarai motor kemudian bersedia mengantarkanku menuju sang Merpati. Tapi sudahlah, jangan mengandai-andai. Aku tetap melangkah, kunyanyikan lagu Izzis dalam hati untuk menyemangati diriku sendiri.
“ Hai mujahid muda, maju kehadapan
Sibakkan penghalang, satukan tujuan
Kibarkan panji Islam dalam satu barisan
Bersama berjuang kita junjung keadilan
...
Majulah wahai mujahid muda...”
Terasa sekali kobaran semangatnya. Aku berhenti sejenak di warung milik warga setempat untuk menanyakan rutenya. Tempatnya masih sangat jauh dari sini, sekitar 30 menit lagi baru sampai kalau berjalan, “Naik ojek saja” begitu katanya. Ahh, aku tak suka naik ojek, biarlah aku tetap berjalan saja, begitu ucapku dalam hati. “Ya sudah Bu, terimakasih” “Sama-sama”
Aku kembali berjalan, cukup melelahkan memang. Tapi lelahku seolah hilang ketika aku mendapatkan papan kecil di atas berikut dengan tanda panahnya “MERPATI” begitu tulisannya. Aku berhenti lagi ke sebuah rumah warga untuk memastikan bahwa inikah tempat yang ku cari sedari tadi. Ternyata benar, aku diminta putar arah untuk menuju gerbangnya. Aku segera berpamit. Entah mengapa, tiba-tiba ada dua bocah lucu mengikutiku dari belakang. Padahal sedang hujan begini, mereka tak mengenakan payung lagi. Kuminta mereka untuk berjalan disampingku, supaya dapat kupayungi. Ku ajak berbicara singkat sambil berjalan, “Adik ngga sekolah ?” “Sedang libur Ka” begitu katanya. “Ka, belok ke sini.” Salah satu bocah menunjukkan arah padaku. Ternyata benar arahnya. Kok bocah ini bisa tahu tempat tujuanku, sudahlah mungkin tadi dia mendengarkan pertanyaanku pada salah satu warga.
Aku lekas menelepon salah satu akhwat untuk membukakan pintu gerbangnya. Herannya, kedua bocah itu langsung berlari. Padahal belum sempat kuucap terimakasih pada mereka. Hmmm, dasar bocah... renungku sambil masih terheran-heran. Klik.. bunyi kunci pada pintu gerbang. Di bukalah pintunya dan aku diminta masuk. Terasa damailah hatiku, lega bercampur haru biru. Lelahku ini sangat berarti.
Sampailah aku menggapaimu wahai Merpati....

Catatan anak daerah yang merantau di kota nan megah
Tersebutlah panggilan dakwah.. Menggapai Merpati
Ayyu Zahara

Ket :    Merpati            : nama salah satu tempat di kota Bogor
            NBC                : Nursing Bazaar Corner, puncak ujian mata kuliah kewirausahaan
            Bolang             : Bocah ilang, sebutan bagi orang yang bepergian sendiri, bahasa gaul yang cukup tenar di kalangan teman-teman SMA ku dahulu.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

pengalamanya mengasyikkan