Laman

In The Name of Allah

In The Name of Allah

Rabu, 26 Oktober 2011

Oh Adikku (Cerpen)


Aku bergegas menuju Masjid Al-Ikhlas. Tak lupa ku tuntun adikku menggunakan kursi rodanya. Adikku adalah seorang yang cacat. Dulu, aku, adik, ayah, dan ibu pernah mengalami kecelakaan yang menyebabkan ayah dan ibu meninggal dan kedua kaki adikku patah. Alhamdulillah aku tidak mendapatkan luka yang parah, hanya memar-memar saja di bagian lenganku. Kini aku dan adikku tinggal di sebuah pesantren sederhana, tempat penampungan anak yatim piatu.

“ Kakak, ayo cepat jalannya, nanti keburu iqomah ! “ seru adikku. Aku pun mempercepat langkahku. Iqomah pun berkumandang dan seluruh jama’ah bersiap melaksanakan shalat maghrib.

Dalam shalatku, aku mendengar jeritan beberapa wanita yang membuatku tidak khusyu’ dalam ibadahku kali ini. Usai shalat aku beregas untuk berdiri, menyimak suara yang tadi ku dengar. Ku rasa suara itu berasal dari halaman belakang pesantren. Meski jarak masjid dengan halaman belakang pesantren cukup jauh, namun suara itu terasa jelas di telingaku.

“ Kebakaraannn …. ” ku dengar suara itu.

Aku bergegas lari menuju halaman belakang pesantren tanpa terpikir apapun, sementara jama’ah lain sedang sibuk berdo’a dan bertilawah. Aku sangat panik, bahkan aku meninggalkan adikku tanpa ku pamiti terlebih dahulu.

“ Kebakaran.. tolong.. kebakaran.. ” suara itu semakin jelas ku dengar.
Ku lihat asap sudah mengepul di atas bangunan pesantren, meski tidak terlalu tebal, namun aku sungguh sangat panik.
“ Jangan-jangan…. ..” pikirku cemas.

Aku segera memasuki pesantren, “ Jangan-jangan wanita yang menjerit-jerit tadi ada di dalam. ”
Ku temui, ada dua orang santri di dalam yang kebetulan mereka sedang haid, sehingga mereka tidak pergi ke masjid.
“ Ayo ukthi, cepat keluar dari sini. ” ku tatih mereka keluar.
Ukhti, tolong ukhti ” ku lihat salah satu santri itu meminta dengan tampang memelas, tubuhnya sudah tidak berdaya.
“ Sabar ya “ ku coba menenangkannya.

Aku segera meraih selang air yang kebetulan tepat ada di sampingku. Ku nyalakan krannya dan ku semburkan ke atas bangunan pesantren. Bukannya padam, api itu malah semakin besar dan menjalar.  Aku panik sekali. Selang itu ku lepaskan begitu saja. Aku pun berlari, sambil ku tatih dua santri tadi. Aku berlari menuju jalan raya, pikiranku buyar, aku hanya ingin selamat, itu saja.
Ku lihat api itu semakin membesar ,dan warga sudah bergemuruh tidak karuan. Aku berlari semakin cepat, tak terasa aku telah meninggalkan santri tadi, aku sudah tidak memikirkan mereka. “ Ya Allah, selamatkan hamba… “ teriakku keras sambil menangis.

Tak terasa, aku berlari sudah sangat jauh. “ Daerah mana ini ? ” tanyaku dalam hati. Aku menemukan sebuah mushala di sini. Aku mampir untuk melaksanakan shalat ‘isya terlebih dahulu. Karena saking lelahnya, usai shalat aku tertidur hingga subuh.

“ Mba, Mba, bangun Mba, sudah subuh.”
Ku lihat seorang ibu membangunkanku. Aku mencoba membuka mataku perlahan.
“ Mba dari mana, sepertinya Mba bukan warga sini ? ” tanya ibu itu.
Aku terdiam dan menangis, bingung harus menjawab apa, “ apakah tadi aku bermimpi ? “ pikirku.

“ Ya sudah, Mba shalat dulu saja, nanti kalau Mba sudah tenang, Mba bisa cerita sama Ibu “ kata ibu itu dengan lembut.
Aku segera mengambil air wudhu, kemudian shalat.
Usai shalat, aku menemui ibu tadi.
“ Ibu.. ” sapaku.
“ Iya Mba, sudah selesai shalatnya ? ”
“ Sudah, Bu. ”
Kami berbincang sebentar. Ternyata ibu itu adalah pemilik mushala yang telah ku inapi semalam, namanya Ibu Jannah.

“ Mba sepertinya lelah sekali, dari mana Mba ? “ tanya Bu Jannah.
Aku berpikir sejenak, kemudian kuceritakan semua yang telah ku alami tadi malam. Aku menangis.
“ Mba tinggal di mana ? ” tanyanya kembali.
Aku pun menceritakannya tentang keadaanku dan tentang keluargaku. Aku menangis lagi dalam pelukan Bu Jannah. Hangat sekali, seperti ada ibuku di sini, ungkapku dalam hati.

Bu Jannah mengaambilkan sarapan dan secangkir teh hangat untukku. Usai makan, Bu jannah mengantarkanku menuju pesantren menggunakan motornya.

Dalam perjalanan, aku kembali menangis.
“ Apakah adikku masih selamat ? Adikku tidak bisa berjalan, apakah adikku dapat berlari dari semburan api itu ? Bagaimana mungkin ? ” hatiku bertanya-tanya.
Aku melihat pesantren itu sudah hangus terbakar, “kemana aku harus pulang ? “ pikirku. Bu Jannah mengantarkanku ke tenda-tenda penginapan.
“ Ibu, bantu saya mencari adik saya ya. “
“ Iya, pasti ibu bantu, siapa namanya ? “
“ Dini, Bu. “
Aku dan Bu Jannah pun mengelilingi tenda-tenda untuk mencari adikku.
“ Dini, Dini, ini kakak. Kamu di mana, Dini ? “
Tidak ada jawaban dari teriakanku. Akhirnya aku dan Bu Jannah mengunjungi tenda PMI untuk mencari bantuan.
“ Mba, ada pasien yang bernama Dini di sini ? “ tanyaku pada salah satu petugas PMI.
“ Sebentar, saya lihat dulu daftarnya. “
“ Maaf, Mba di sini tidak ada pasien yang bernama Dini. ” kata petugas PMI.
“ Sungguh….? “ tanyaku meyakinkan.
“ Iya, Mba saya sudah cari dan hasilnya tidak ada. “
“ Sabar ya. ” kata Bu Jannah sambil mengelus pundakku.
“ Mba sudah melihat korban-korban yang akan dimakamkan ? ” tanya petugas PMI.
“ Ayo kita tengok ke sana dulu. ” ajak Bu Jannah.
“ Iya saya akan ke sana. ”

Aku pun mencari, ke tempat korban-korban yang akan dimakamkan.
“ Tidak, tidak, ya Allah jangan sampai adikku ada di sini. “ aku sangat berharap tidak akan melihat nama Dini di antara jenazah ini.

Saatku tertuju pada satu titik, aku melihat dengan jelas ada nama Dini di atas jenazah yang berada di depanku. Aku pun langsung terkulai lemah dan pingsan, tidak dapat menahan keadaan.

“ Kakak... kak Ifah “
Aku terbayang-bayang oleh suara manja itu menyebut namaku. Aku telah siuman. Perlahan ku buka mataku. Aku melihat ada petugas PMI, para ustadzah pembimbingku, teman-temanku di pesantren dan Bu Jannah, mengelilingiku. Ku tatap lagi ke samping kananku, ku lihat ada adikku, Dini, dia tersenyum padaku, dan menyebut “ Kakak….”
Aku bahagia sekali. Adikku masih hidup, ternyata nama yang ku lihat tadi bukanlah adikku. Adikku ada di sini, di sampingku, iya dia nyata. Aku pun langsung berdiri dan ku peluk adikku di kursi rodanya, sambil ku ucap “ Sayaaaang…….”





Karya :

Ayyu Zahara